kritik sastra novel yang berjudul serdadu pantai karya Laode M. Insan
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
kehidupan masyarakat, sering kita mendengar kata “sastra”. Namun, tidak semua
orang paham tentang apa itu “sastra”. Sastra sebagai suatu karya seni
menggunakan bahasa sebagai pembentuknya. Dasar penggunaan bahasa dalam sastra
bukan sekedar untuk dipahami tetapi lebih penting dari itu, mampu mengusik
kesan atau pun sensitivitas pembaca. Dalam sastra terdapat peristiwa-peristiwa
hidup dan kehidupan yang terjadi di masyarakat. Sastra adalah suatu wadah untuk
menampung imajinasi
seni manusia dalam bentuk tulisan. Imajinasi manusia tersebut bersumber dari
pengalaman hidup pengarang atau pengalaman hidup orang lain. Sastra merekam
kehidupan masyarakat pada suatu masa. Sastra sangat terikat dengan ruang dan
waktu. Sehingga apa yang disebut sastra pada suatu tempat dan atau masa, belum
tentu sama dengan di tempat dan atau masa yang lain. Sehubungan dengan hal itu,
logikanya, arti sebuah karya sastra tergantung pada maksud pengarang
(sugihastuti,2009:2).
Dalam
(sutresna; 2006) penciptaan karya sastra tidak terlepas dari keterlibatan
sosial pengarang dengan lingkungan masyarakatnya. pengarang sebagaimana
halnyadengan anggota masyarakat lainnya, tidak bisa tidak akan selalu
berinteraksi dengan lingkungan masyarakatnya. Interaksi dan relasi pengarang
dengan lingkungannya harus selalu peka terhadap masalah-masalah sosial, paling
tidak dengan lingkungan disekitarnya. Pengarang memiliki daya sorot apresiasi
yang tajam terhadap broblema-problema yang ada di masyarakatnya untuk dijadikan
sumber ide, yang pada gilirannya dituangkan dalam ungkapan sastra.
Banyak sekali
nilai-nilai yang ada di dalam suatu karya sastra. Nilai-nilai dalam suatu karya
sastra antara lain: nilai hedonik, nilai artistik, nilai kultural, nilai moral,
nilai praktis, nilai sosial, nilai pendidikan, dan nilai humaniora.
Untuk
mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra, terlebih
dahulu kita harus melakukan apresiasi terhadap karya sastra tersebut. Apresiasi
sastra adalah suatu kegiatan menggauli karya sastra (dalam bentuk utuh) dengan
sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian,
penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap
karya sastra (Effendi, 1993).
Salah
satu karya sastra, yaitu novel. Dalam novel terkandung nilai-nilai kehidupan
yang dapat diapresiasi. Dalam pembahasan ini penulis memilih novel “serdadu
pantai” karya Laode M. Insan yang akan diapresiasi melalui suatu analisis.
Alasan penulis milih novel “serdadu pantai” untuk dianalisis, yaitu karena
banyak sekali nilai-nilai yang terkandung di dalam novel tersebut. Novel
serdadu pantai mengisahkan tentang empat orang sahabat yang berjuang demi
kehidupannya. Semangat yang dimiliki empat sahabat ini sangat besar untuk
menghadapi kehidupan yang sangat keras. Ironi kehidupan masyarakat Boton yang
jauh dari sederhana di tanah mereka yang kaya hasil bumi.
Analisis
novel ini, difokuskan pada unsur intrinsik dan ekstrinsik yang membangun karya
sastra, yaitu tata nilai. Salah satu tata nilai yang ada dalam karya sastra
adalah nilai humaniora. Pada makalah ini, penulis memfokuskan analisis novel “serdadu
pantai” karya Laode M. Insan pada
nilai humaniora dengan beberapa pendekatan yang mendukung nilai humaniora
tersebut.
1.1.1
Bagaimana identitas novel “Serdadu Pantai”?
1.1.2
Bagaimana sinopsis novel “Serdadu Pantai”?
1.1.3
Bagaimana representasi nilai humaniora
dalam novel “Serdadu Pantai”?
1.1.4
Pendekatan apa saja yang mendukung nilai
humaniora yang terkandung dalam novel “Serdadu Pantai” tersebut?
1.2 Tujuan
1.2.1
Untuk mengetahui identitas novel “Serdadu
Pantai”.
1.2.2
Untuk mengetahui sinopsis novel “Serdadu
Pantai”.
1.2.3
Bagaimana representasi nilai humaniora
dalam novel “Serdadu Pantai”?
1.2.4
Pendekatan apa saja yang mendukung nilai
humaniora yang terkandung dalam novel “Serdadu Pantai” tersebut?
1.3 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari
analisis novel “Serdadu Pantai” antara lain sebagai berikut:
1.
Dengan menganalisis novel serdadu pantai,
penulis dapat meningkatkan daya apresiasinya.
2. Penulis
dapat menggali dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam novel “Serdadi
Pantai” terutama nilai humaniora dan pendekatan-pendekatan yang mendukung nilai
humaniora tersebut.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Kritik Sastra
Istilah “kritik” (sastra)
berasal dari bahasa Yunani, yaitu krites yang berarti “hakim”. Krites sendiri
berasal dari kata krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti “dasar penghakiman”,
dan kritikos yang berarti “hakim kesastraan”. Kritik sastra merupakan salah
satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang sifatnya melakukan analisis,
penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni. Abrams
(Pradotokusumo, 2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang
ilmu sastra yang fokus implementasinya berurusan dengan perihal perumusan,
klasifikasi, penerangan, dan penilaian terhadap karya sastra.
Kritik sastra, menurut
Semi dalam Seloka Sudiara (2005), merupakan upaya menentukan nilai hakiki karya
sastra dalam bentuk memberikan pujian, mengatakan kesalahan, memberikan
pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistematik, dan menurut Seloka
Sudiara yang mengutip pendapat dari Handre Harjana, dalam Kritik Sastra, Sebuah Pengantar (1991)
memberikan pengertian kritik sastra sebagai hasil usaha pembaca mencari dan
menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik,
yang dinyatakan dalam bentuk tulisan. Analisis struktualisme merupakan
prioritas pertama sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis
struktural tersebut, kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari
karya sastra tersebut tidak dapat ditangkap. Makna unsur-unsur karya sastra
hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya, dan dinilai atas dasar pemahaman
tempat dan fungsi unsur karya itu di dalam keseluruhan karya sastra.
Adanya kritik sastra dapat memajukan khasanah dunia
sastra karena seperti kata pepatah, tidak ada perubahan yang berarti tanpa
kritik. Jadi keberadaan kritik sastra tentunya akan membawa perkembangan yang
baik dalam dunia sastra. Dalam melakukan sebuah kritik sastra, tentunya ada
syarat yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum menjalankan kritik sastra,
yaitu mengadakan apresiasi sebelumnya.
2.2.
Pendekatan-Pendekatan dalam Kritik
Sastra
Metode mendekati karya sastra lazim disebut dengan
istilah pendekatan sastra. Bagaimana cara seseorang memandang sastra itu akan
memberi pengaruh dan jika seseorang tersebut seorang kritikus akan memberi
bentuk terhadap pendekatan yang digunakannya dalam melakukan kritik sastra.
Berbagai pendekatan
ditawarkan, salah satu diantaranya pendekatan mimesis, pendekatan pragmatis
(reseptif), pendekatan ekpresif, pendekatan objektif (structural), pendekatan
semiotik, pendekatan sosiologi, pendekatan psikologis, pendekatan moral. Oleh
karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dianalisis berdasarkan
strukturnya sendiri, lepas dari berbagai unsur yang ada di luar struktur
signifikansinya. Kritik sastra pernah dikotak-kotakkan dengan berbagai cara
menurut sifat, tujuan, sejarah, atau lingkungan sosial geografis tertentu
(Sudiara, 2005: 51). Hal tersebut telah menunjukkan bagaimana para kritikus dan
para ilmuan sastra mencoba mendekati sastra melalui berbagai jalur dan ikhtiar.
Pendekatan yang satu dengan pendekatan yang
lainnya saling berhubungan. Adapun pendekatan-pendekatan yang lazim digunakan
dalam melaksanakan kritik sastra (Sudiara, 2005: 52—59), yaitu:
1. Pendekatan
Mimesis
Pendekatan ini berangkat dari pemikiran bahwa sastra,
sebagaimana hasil seni yang lain, merupakan pencerminan atau representasi
kehidupan nyata. Sastra merupakan tiruan atau pemaduan antara kenyataan dan
imajinasi pengarang. Bisa juga dikatakan bahwa sastra merupakan hasil imajinasi
pengarang yang bertolak dari suatu kenyataan. Menurut Aristoteles, istilah mimesis memiliki makna yang lebih tinggi
dari sekadar kenyataan. Istilah tersebut mengandung makna kebenaran yang lebih
umum, kebenaran yang universal, bukan sekadar kenyataan seperti apa adanya.
2. Pendekatan
Pragmatis
Pendekatan
pragmatis menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang dapat
memberi kesenangan dan faedah bagi pembacanya. Dengan demikian, pendekatan ini
menggabungkan antara unsur pelipur lara dan unsur didaktis. Pemanfaatan
pendekatan ini harus berhadapan dengan relativitas konsep keindahan dan nilai
didaktis. Setiap generasi pada setiap kurun waktu tertentu harus menentukan
kembali nilai keindahan dan nilai didaktis menurut kondisi waktu itu, akan
tetapi, hal itu tidak berarti bahwa interpretasi hanya subjektif belaka. Ada
semacam kaitan atau kesinambungan antara sesuatu yang lama dan sesuatau yang
dianggap baru. Di Indonesia, sejak dahulu ada anggapan bahwa aspek didaktis dan
unsur keindahan merupakan dua unsur yang penting.(Seloka, 2005:52)
Pendekatan
ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek
tertentu pada pembaca atau pendengar, baik berupa efek-efek kesenangan ataupun
ajaran/pendidikan maupun efek-efek yang lain. Kritik ini menilai karya sastra
menurut keberhasilannya mencapai tujuan tersebut. (Menurut Abrams dalam
Gunatama, 2004/2005: 96)
3. Pendekatan
Moral
Pendekatan moral dalam kritik
sastra sering pula dianut oleh beberapa kritikus. Pendekatan ini berangkat dari
dasar pemikiran bahwa suatu karya sastra dianggap sebagai suatu medium yang
paling efektif membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Moral
dalam hal ini diartikan sebagai suatu norma, suatu konsep tentang kehidupan yang
disanjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Moral yang dipegang
teguh oleh suatu masyarakat tidak berarti statis, tidak berubah. Ukuran moral
yang terdapat dalam masyarakat juga mengalami perubahan menurut gerak
pertumbuhan masyarakat yang bersangkutan.
Pada dasarnya, teknik atau metode
yang dipilih seorang kritikus bertolak dari sikap dan pandangannya mengenai apa
hakikat sastra itu
sendiri. Pandangan dan sikap seorang kritikus terhadap sastra dan
kritik sastra merupakan pendekatan. Pada sisi yang lain, pendekatan itu sendiri
merupakan kerangka berpikir dalam melakukan kirtik yang pada akhirnya akan
membentuk langkah kerja (Teknik atau metode penelahaan) (Seloka, 2005: 48).
4. Pendekatan
Ekspresif
Pendekatan ini menitikberatkan
perhatian kepada upaya pengarang atau (terutama) penyair dalam mengekspresikan
ide-idenya ke dalam karya sastra. Kemampuan pengarang menyampaikan pikiran yang
agung dan emosi yang kuat menjadi ukuran keberhasilan sebuah karya sastra.
Dalam hal ini yang menjadi ranah garapan para pengkritik adalah ranah kejiwaan
pengarang.
Menurut Abrams, kritik ini memandang
karya sastra terutama dalam hubungannya penulis sendiri. Kritik ini
mendefinisikan karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan, atau ucapan
perasaan. Atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan
persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaannya. (Gunatama, 2004/2005: 97).
5. Pendekatan
Objektif
Pendekatan
ini membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal
pengarang dan pembaca. Dalam hal ini, kritikus memandang karya sastra sebagai
suatu kebulatan makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai
alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari
segi instrinsik suatu karya sastra, yaitu tema, alur, plot, penokohan, dan gaya
bahasa. Perpaduan harmonis antara bentuk dan isi merupakan kemungkinan kuat
untuk menghasilkan karya sastra yang bermutu. (Seloka, 2005:53)
6. Pendekatan
Semiotik
Pendekatan
semiotik ini pada dasarnya merupakan pengembangan terhadap pendekatan objektif
atau pendekatan struktural, yaitu penelaahan sastra dengan mempelajari setiap
unsur yang ada di dalamnya, tanpa ada yang dianggap tidak penting, dan melihat
karya sastra sebagai sesuatu yang terikat kepada sistem yang dibentuknya
sendiri sehingga sistem yang ada di luarnya tidak berlaku terhadapnya. Sesuatu
yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat akan tecermin di dalam karya
sastra, karena karya sastra itu tidak dapat melepaskan diri dari sistem
kemasyarakatan itu sendiri. Penting adanya analisis yang memperhatikan atau
memandang sesuatu sebagai suatu sistem, yakni sistem tanda, sesuai dengan
pandangan semiotik. Pandangan semiotik bukan hanya dapat menghubungkan sistem
dalam karya sastra itu sendiri, tetapi juga dengan sistem yang ada di luarnya,
dengan sistem kehidupan.
7. Pendekatan
Sosiologis
Pendekatan ini bertolak dari pandangan bahwa sastra
merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang
mengungkapkan tentang suka duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui dengan sejelas-jelasnya. Bertolak dari
pandangan itu, telaah atau kritik sastra yang dilakukan terfokus atau lebih
banyak memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan, yang terdapat dalam suatu
karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dan
pengembangan tata kehidupan (Saini, 1989, Sumardjo, 1986, Soekito, 1989 dalam Seloka, 2005:55).
Pembahasan
sastra secara sosiologik dapat mengembangkan kecenderungan lain secara lebih
jauh lagi, yakni kecenderungan untuk menafsirkan tokoh-tokoh khayalan dengan
lingkungannya itu sebagai identik dengan - tidak lain dan tidak bukan- adalah
atau mewakili tokoh-tokoh dalam suatu kelompok sosial tersebut. (Andre Harjana,
: 73)
8. Pendekatan
Psikologis
Menurut
Seloka, pendekatan psikologis adalah pendekatan penelaahan sastra yang
menekankan pada segi-segi psikologis yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Segi-segi psikologis ini mendapat perhatian dalam penelaahan dan penelitian
sastra disebabkan oleh timbulnya kesadaran bagi para pengarang, yang dengan
sendirinya juga bagi kritikus sastra, bahwa perkembangan dan kemajuan
masyarakat pada masa atau zaman modern ini tidaklah semata-mata dapat diukur
dari segi material atau jasmaniah, tetapi juga dari segi rohaniah atau kejiwaaan.
2.3. Nilai- Nilai dalam Kritik
Sastra
Kritikus sastra dalam melakukan kritiknya melewati suatu proses penghayatan
keindahan yang serupa dengan proses yang dilalui pengarang dalam melahirkan
karyanya. Proses penghayatan keindahan seorang kritikus bermula dari pengamatan
dan pencernaan jiwanya atas suatu karya. Dalam penghayatan itu, seorang
kritikus juga dapat larut lewat persepsinya atas karya yang dihadapinya.
Penghayatan keindahan yang tidak lain adalah juga merupakan penghayatan nilai.
Penghayatan nilai tersebut dapat dikatakan sebagai penghayatan dan pengalaman
estetik. Penghayatan estetik berarti penemuan nilai, dan bagaimana penemuan itu
terjadi, serta mengapa penilaian itu terjadi tidak terlepas dari apa hakikat
nilai sastra dan nilai karya sastra.
Beberapa jenis nilai yang terdapat dalam suatu karya sastra, yaitu sebagai
berikut:
1. Nilai
hedonik
Suatu
karya sastra dikatakan mengandung nilai hedonik jika karya sastra tersebut
memberikan kesenangan secara langsung kepada penikmatnya.
2. Nilai
artistik
Suatu
karya sastra dikatakan memiliki nilai artistik apabila karya sastra itu
mencerminkan suatu seni atau keterampilan pengarang dalam meramu unsur-unsur
cerita atau karya sastra.
3. Nilai
kultural
Nilai
kultural itu ada apabila karya sastra menggambarkan kehidupan suatu masyarakat.
Karya sastra memiliki hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban, atau
kebudayaan tertentu.
4. Nilai
etis, moral, religius
Nilai
etis, moral, religius berkaitan dengan ajaran-ajaran yang ada hubungan dengan
hal itu. Etika berkaitan dengan sopan santun, atau nilai kesopanan. Moral ada
kaitannya dengan iman, pemikiran, dan perilaku seseorang yang dapat ditolak
atau diterima oleh masyarakat. Nilai agama adalah nilai-nilai yang disabdakan
Tuhan dan berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut keyakinan dan kepercayaan
kita terhadap Tuhan. Manusia melaksanakan nilai-nilai itu dengan baik apabila:
·
Menyadari
dirinya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan Yang Maha
Esa, dengan segala sifat dasar, potensi dasar, serta hak dan kewajiban asasi
yang melekat pada harkat, kodrat, dan martabatnya sebagai manusia.
·
Menyadari
hak dan kewajibannya sebagai makhluk individu,
makhluk sosial, dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
·
Mengaktualisasikan
sifat dasar dan potensi dasar yang dimilikinya, serta melaksanakan segala hak
dan kewajiban asasinya, sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
5. Nilai
praktis
Sebuah
karya sastra dikatakan mengandung nilai praktis jika karya sastra itu
memberikan sesuatu (faedah) yang dapat dilaksanakan atau dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari. (Tarigan dalam Seloka, 2005:35)
6. Nilai Sosial
Nilai sosial
merupakan nilai yang berkaitan dengan masyarakat. Setiap karya sastra
mengandung nilai sosial karena sasaran sastra adalah masyarakat.
7. Nilai Pendidikan
Sebuah karya sastra
dikatakan memiliki nilai pendidikan apabila karya sastra itu mengandung hal-
hal positif meningkatkan kecerdasan dan mempertinggi tingkat kepribadian. Nilai
pendidikan dalam sebuah karya sastra tidak hanya memberikan suatu pengetahuan
semata, tetapi sekaligus cara penerapannya dalam kehidupan masyarakat. Nilai
pendidikan dapat memberikan inspirasi dan motivasi kepada penikmat sastra.
Jadi, nilai pendidikan dalam karya
sastra dapat memberikan berbagai faedah bagi penikmat sastra.
8. Nilai Humaniora
Karya sastra
merupakan wadah pendidikan humaniora. Artinya, karya sastra mampu mengangkat
harkat martabat manusia dan kemanusiaannya. Nilai humaniora sangat berharga karena
mengajarkan kita tentang hakikat manusia dan menghargai manusia lainnya
termasuk menghargai Hak Asasi Manusia.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1.
Identitas Novel “Serdadu Pantai”
Judul : Serdadu Pantai
Penulis : Laode M. Insan
Negara : Indonesia
Bahasa : Indonesia
Penerbit
: Jakarta, Noura Books
Tahun
terbit : 2013
Halaman
: 394 halaman
Ukuran : 14x21 cm
ISBN : ISBN 978-602-7816-63-3
3.2. Sinopsis Novel “Serdadu
Pantai”
Hari
itu, sabtu sore. Aku bersama ketiga sahabatku, Surman, Odi, dan Poci, berjalan
menembus hutan, sepulang dari bekerja di kebun orang. Itu hari pertama kami
mencoba mencari upah sendiri, membantu orangtua kami. Kami sebaya, sama-sama
berusia antara delapan dan Sembilan tahun. Ketika itu kami ingin cepat sampai
di kampung kami, Laompo, sebuah kampung kecil di pesisir selatan Pulau Buton. Jadi
kami pulang lewat hutan yang sangat sunyi sebagai jalan pintas walaupun dengan
resiko menghadapi bahaya. Tiba-tiba, kesunyian itu pecah oleh ulah Poci. Tanpa
berkata apa pun Poci berderap lari meninggalkan kami. Aku terkejut dan langsung
berteriak “Pagere-gere”. Odi dan
Surman pun ikut terkejut. Kami bertiga langsung lari sekencang-kencangnya agar
terhindar dari bahaya pagere-gere.
Ayo lari, cepat Dayan, seru Odi tanpa menoleh kepadaku. Karena pada saat itu
aku memang tertinggal jauh. Ahhirnya kami pun bebas dari ancaman pagere-gere dan tiba di pantai.
Di
pantai kami pun menyaksikan sunset ditemani
dengan memakan jambu mete hasil upah bekerja. Tiba-tiba ada serang bapak-bapak
yang berteriak “ Dayan, tadi kau dicari sama ina-mu. Saya dengar katanya kambingmu
terlepas, tidak tahu lari kemana”. Akhirnya aku pun cepat-cepat pulang ke rumah
setelah mendengar kabar tersebut. “Gawat”, apakah benar kambing itu hilang,
kalau benar aku akan sangat bersalah, karena aku yang mengikatnya tadi pagi di
bawah pohon dekat rumah. Kambing itu dibeli bapakku untuk nantinya dijadikan
hewan kurban. Gara-gara kecerobohan ku meninggalkan kambing itu, akhirnya
kambing itu hilang. Sampai di rumah aku langsung diinterogasi oleh ibuku. Ibu
marah padaku, aku tak bisa berkata apa-apa, aku hanya bisa meremas erat kantong
plastic yang berisi jambu mete hasil upah tadi. Bapakku pun dating dan
mendinginkan suasana. “sebenarnya kami memang marah padamu, supaya kau tahu
mana yang benar dan mana yang salah” kata bapakku. “itu kantong plastic, apa
isinya?” Tanya ibuku. “ ini.. jambu mete hasil kerjaku tadi sama Odi, Poci, dan
Surman. Kami dapat upah jamu habis bantu Kakek Deka. “Dayan, sebenarnya bagus
itu, kau sudah mulai belajar mandiri, berusaha sendiri. Tapi, jangan kau lupa,
kau harus mempunyai rasa tanggungjawab. “kamu mau jadi apapun nanti setelah
besar, tetap jangan lupakan yang namanya tanggung jawab, jujur, disiplin, dan
masih banyak lagi” kata bapakku. “ iya” jawabku pelan. Aku mulai menyadari
kesalahanku. Aku mulai menyadari kesalahanku. Hatiku pun lega, karena kambing
itu berhasil ditemukan. Dari kejadian itu, aku harus bisa bertanggungjawab atas
apa yang telah aku perbuat.
Pulau
Botun tempat tinggalku dikenal sebagai satu-satunya pulau penghasil aspal di
Indonesia, bahkan yang terbesar di dunia. Pada 1970-an, aspal di Buton pernah
membawa keberkahan bagi penduduk setempat. Namun, masa itu tidak berlangsung
lam. Tidak disangka, dengan adanya pergantian perusaha yang mengelola aspal
tersebut, pundi keberkahan juga ikut turun drastic. Akhirnya masyarakat pun
harus melalukan pekerjaan lain, yaitu melaut karena daerahnya ada di pesisir.
Siang
itu, aku dan tiga sahabatku naik sampan milik Odi, berloba menuju tengah laut
untuk mengejar kapal motor penumpang yang sedang melintas. Semua itu kami
lakukan untuk menjalani hubi kami, yaitu berenang dilautan untuk mencari koin
yang di lemparkan oleh menumpang kapal motor.
Menjelang
siang udara terasa panas. Aku masuk ke rumah untuk menaruh buku dan pensilku.
Aku juga mengganti seragam sekolahku, dan langsung menuju dapur. Sehabis makan
ibu menyuruhku memberi makan kambing. “ Dayan” teriak bapakku. Aku di suruh
bapakku pergi ke rumah penjual kambing untuk membayar sisa hutang kambing yang
belum lunas tersebut. Aku pun pergi naik sepeda bapakku dengan kecepatan
tinggi. Tak disangka akupun menabrak seorang anak laki-laki. Dia marah padaku
dan mengeroyok bersama dua orang temannya, uang yang dikasi bapakku pun
diramapas. Mereka pun cepat lari, sehabis dari keluar dari hutan dan membawa
banyak jambu. Salah satu dari mereka berkata, “hai, ayo kita cepat pergi, nanti
kita dikejar lagi”. Pikirku itu pagere-gere
yang mengejar mereka dari hutan. Akhirnya aku ikut lari. Sial sekali
nasibku waktu itu. Aku bingun mau bilang apa kepada bapakku antara aku
berbohong atau aku harus jujur. Namun sampai di rumah aku memilih berbohomg dan
mengatakan uang untuk membayar kambing itu sudah aku berikan kepada penjual
kambingnya.
Di kampungku, sama seperti di kampung
tertinggal lainnya. Tidak ada SD negeri. Yang ada hanya SD bantu. Namanya SD
APA ADANYA. Maksud kata “seadanya” yang lain adalah pengetahuan guru,
pengetahuan kami, ruang kelas, alat-alat penunjang belajar, biaya iyuran
sekolah, semua serba “seadanya”.
Surman
sedang rebahan di ruang depan rumahnya ketika aku membawakan makanan kepadanya.
Aku langsung memberikan makanan itu kepada ibunya. Siang itu, Surman sudah
mempunyai ide untuk ikut ayahnya melaut karena besok lubur sekolah. Surman tak
sabar menunggu bapaknya yang masih melaut. Tiba-tiba ada seorang warga yang
dating dan mengatakan kapal yang dinaiki oleh bapaknya surman terbalik di
hantam ombak. Tanpa basa-basi Surman, ibunya, aku, odi, dan poci pun langsung
menuju dermaga. Sampai di dermaga berita buruk pun harus di terima oleh
keluarga Surman, bapaknya meninggal. Keluarga surman pun sangat terpuruk
apalagi setelah musibah itu, ada seorang renternir bernama la maseke dating
meminta uang yang dipinjam bapaknya surman semasih hidup. Sebenarnya hutangnya
itu 2juta, akan tetapi karena lama tidak dibayar, hutang itu menjadi 10juta.
Sungguh malang nasib keluarga surman akhirnya rumahnya pun di sita untuk
membayar hutang-hutang tersebut. Masyarakat sangat kasihan kepada mereka.
Akhirnya dibuatkanlah keluarga Surman sebuah gubuk kecil yang sederhana sebagai
tempat tinggal. Semenjak kejadian tersebut Surman haru menjadi punggung
keluarga untuk menghidupi kebutuhannya, ibu, dan adiknya watina. Ibu Surman pun
semakin hari semakin kehilangan kesadarannya, katakana saja ibunya menjadi
kurang waras. Pagi-pagi surman bekerja di dermaga sebagai buruh angkat, atau
terkadang ia memjual ikan orang lain. Hasilnya lumayan bisa memenuhi kebutuhan
keluarganya, dan untuk sekolahnya. Suatu ketika, Surman mempunyai ide yang
sangat bagus untuk menambah penghasilannya, Surman mengajak aku, Odi, dan Poci
menjual kalung kerang ke Festival
Benteng Kerato Buton, karena di sana pasti banyak ada tusis-turis asing.
Akhirnya kami pun berhasil menjual kalung-kalung kerang itu dengan bantuan
seorang guide amatiran, yaitu Latono seorang sarjana pengangguran.
Sering
aku saksikan anak orang kaya yang merasa bangga di hadapan orang lain atas
keadaan ekonomi orang tuangnya. Sebaliknya, kerap juga kulihat anak yang merasa
malu dengan keberadaan orang tuanya, yang tingkat ekonomi, kedudukan, dan
kehormatan berada dalam tingkatan terendah dari sudut pandang manusia. Anak
tersebut kadang malu dan tidak ingin mengakui orang tuanya. Hal tersebut sudah
kusaksikan langsung pada watina adik sahabatku. Watina tega membiarkan ibunya
keluar sendiri dengan kondisi kejiwaannya seperti itu. Surman pun sangat marah
dan terkejut mendengar alasan adinya. Yaitu dia malu karena mempunyai ibu
kurang waras. Dia sering diejek oleh teman-temannya. Namun surman tetap
menasehati adiknya supaya tetap bersyukur. “Meskipun ibu begitu, dia tetap ibu
kita” kata Surman.
Suatu
ketika saat pembelajaran berlangsung di SD APA ADANYA. Kami murid-murid di sana
di kejutkan dengan kedatangan Watina yang memanggil Surman, mengatakan bahwa
penyakit menggigil ibunya kambuh lagi. Tanpa berpikir panjang Surman, Aku, Odi,
Poci, dan ibu Ros langsung menuju ke rumah Surman. Pada akhirnya Ibu Surman pun
meninggal. Lengkaplah sudah penderitaanya, Surman dan Watina sekarang menjadi
yatim piatu. Surman sangat terpukul. Dia mengingat kembali kejadian asal mula
ibunya mulai kehilangan kesadarannya, yaitu pada saat La Maseke menyita
rumahnya. Surman sangat benci sekali dengan La Maseke, dan Surman berniat untuk
membayar lunas hutang bapaknya dan mengambil kembali rumah milik keluarganya,
yaitu dengan bekerja keras. Meskipun uang 10juta tersebut tidak sedikit, dan
membutuhkan waktu yang cukup lama.
Pagi-pagi
sebelum kesekolah aku, Poci, dan Odi ikut dengan Surman bekerja di dermaga
dengan mengangkat keranjang ikan atau menjual ikan orang. Semakin hari Surman
semakin dipercaya kerjanya oleh Makelar La Wino untuk mengirim ikan-ikannya ke
Pasar Wameo di Kota Baubau. Aku, Oci, dan Poci pun ikut membantu Surman ke
sana. Setelah sampai di Pasar Wameo, kami pun langsung bejerja dan pekerjaan
kami pun selesai dengan baik. Pada saat perjalanan pulang Surman kena musibah
karena menolong anak kecil yang hampir ditambak geng motor. Surman langsung d
bawa ke rumah sakit. Ibu anak tersebut yang bernama ibu Sarnia membayar biaya
rumah sakit, dan dia berjanji untuk bekerja sama dengan bosnya Surman, karena
ibu Sarnia adalah seorang makelar juga. Surman dan Ibu Sarnia pun semakin dekat
hubungannya. Namun Hubungan baik karena bisnis itu pun akhirnya berakhir ketika
Ibu Sarnia itu di ketahui adalah anak dari seorang yang sangat dia benci, yaitu
anak La Maseke. Ibu sarnia pun akhirnya mengetahui masalah Surman dan ayahnya.
Ibu sarnia sepakat dengan keluarganya untuk mengembalikan rumah Surman, namun
Surman tetap menolak. Sebelum dia berhasil membayar hutangnya dia akan mau
menerima rumah itu. Keberuntungan pun mendatangi Surman karena dia rajin
menabung. Surman memenangkan hadiah undian tabungan bank di KUD tahun ini di
Baubau. Hadiah yang didapatkan yaitu 10
juta. Surman sangat senang, dengan itu dia akan membayar hutang ayahnya kepada
La Maseke sebesar 10 juta. Namun, belakangan ini kami tidak pernah melihat La
Maseke masuk ke desa kami. Akhirnya surman pun memberi uang itu kepada Ibu
sarnia. Akhirnya ibu Sarnia pun menolak. Keluarga Ibu Sarnia pun sepakat hutang
itu sudah dilupakan, dan dia meminta maaf kepada Surman atas
kesalahan-kesalahan La Maseke. Surman tetap tidak mau melupakan saja hutang
ayahnya. Akhirnya kesepakatan pun di temui, yaitu surman haya membayar hutang
bapaknya sebesar 2juta tanpa bunganya. Kami semua pun menayakan di mana
keberadaan La Maseke karena akhir-akhir ini La Maseke jarang kelihatan. Keluarga
Ibu Sarnia pun langsung menangis dan mengatakan bahwa La Maseke sudah meninggal
gara-gara stroke.
Dari kejadian-kejadian itu, aku
sangat bangga terhadap ketiga sahabatku terutama Surman. Bagi kami, pertunjukan
drama kehidupan harus tetap dihadapi dengan penu semangat.
3.3.
Representasi Nilai Humaniora dalam Novel
“Serdadu Pantai”
humaniora adalah ilmu
pengetahuan yang meliputi agama, filsafat, bahasa dan sastra, seni, dan
sebagainya. Humaniora adalah cerita, ide dan kata-kata yang membantu kita
merasakan kehidupan dan dunia kita. Humaniora mengenalkan kita pada orang-orang
yang tidak pernah kita temui, tempat yang tidak pernah kita kunjungi, dan ide
yang tidak pernah terlintas dalam benak kita. Dengan memperlihatkan bagaimana
orang lain hidup dan berpikir tentang kehidupan, humaniora membantu kita
menentukan hal penting dalam kehidupan dan hal apa yang dapat kita lakukan
untuk membuatnya lebih baik.
Jadi
nilai humaniora merupakan nilai yang ada dalam kehidupan manusiakan dan
kemanusiaannya. Dalam novel “Serdadu Pantai” terdapat banyak sekali
representasi nilai humaniora. Nilai- nilai humaniora tersebut terlihat pada
penggalan-penggalan paragraf berupa pernyataan dan dialog antartokoh.
Penggalan-penggalan tersebut antara lain sebagai berikut.
1. “Maka, hal terpenting yang begitu kuingat tentang kejadian masa kecil
itu adalah perlunya keberanian melawan rasa takut. Siap berusaha dengan
sungguh-sungguh, dan harus menerima resiko dari setiap hal yang dilakukan.
Termasuk pentingnya etika dalam hidup seseorang, salah satunya bersikaplah yang
sopan dengan tidak boang angina di sembarang tempat”
(hlm;14)
Penggalan
paragraf tersebut membutikan bahwa ketakutan yang dialami oleh seseorang, dapat
dilawan dengan keberania untuk menjadi manusia yang tidak terpuruk dengan
ketakutan. Etika dan sopan santun sangat dibutuhkan dalam hidup seseorang agar menjadi
lebih baik lagi. Semua itu merupakan representasi dari nilai humaiora.
2.
“mungkin itulah hidup yang penuh
warna. Dan, aku tetap bersyukur dengan masa kecil yang aku lalui. Kehidupanku
bersama ketiga sahabat dekatku memberikan banyak kisah, dan pada akhirnya
membuatku berpikir bahwa tidak ada alasan sedikit pun untuk tidak mensyukuri
hidup ini”(hlm;65)
Penggalan
paragraf tersebut membuktikan bahwa adanya representasi nilai humaniora, yaitu
rasa bershukur menghadapi kehidupan ini sangat penting, meski pun hidup
terkadang penuh dengan perjuangan namun rasa syukur itu harus tetap ada.
3. “Surman
sedang rebahan di ruang depan rumahnya ketika aku ke sana mengantarkan kapusu,
makanan dari jagung tua beserta santannya yang kental. Sebagai tetangga yang
rumahnya bersebelahan, kami memang saling memberi walaupun seadanya” (hlm;87)
Saling
perduli dan memberi, merupakan representasi dari nilai humaniora. Saling memberi
walaupun seadanya merupakan suatu cerminan bahwa orang tersebut mempunyai rasa
perduli terhadap sesamanya.
4.
“Rasa iba dan cinta kasih seorang
ibu seakan langsung menyelimuti hatinya, bagaimanapun kesalahan seorang anak,
ternyata kasih sayang “ibu sangat besar” (hlm;104)
Rasa kasih saying seorang ibu sangatlah
besar. Meskipun kesalahan apa yang
dilakukan oleh anaknya sangat besar. Seorang ibu pastia akan selalu
menasehatinya.
5.
“Tapi, ingat” kata bapakku. “Kau
harus selalu jujur. Pegang teguh itu kejujuran. Orang bisa celaka hidupnya
kalau tidak jujur”. (hlm;108)
Penggalan paragraf tersebut membuktikan
bahwa kejujuran merupakan salah satu representasi nilai humaniora. Di dalam
kehidupan kejujuran tersebut sangat penting bagi seseorang.
Demikianlah beberapa pengalan-penggalan paragraph yang
membuktikan adanya representasi nilai humaniora. Namun, sesungguhnya masih
banyak lagi representasi nilai humaniora yang terdapat dalam novel “Serdadu
Pantai”, tetapi hanya beberapa saja yang dipaparkan.
3.4.
Pendekatan-Pendekatan yang Mendukung
Nilai Humaniora yang Terkandung dalam Novel “Serdadu Pantai”
Pendekatan-pendekatan
yang mendukung nilai humaniora yang terdapat dalam novel “serdadu Pantai”,
yaitu: Pendekatan moral, pendekatan sosial
1. Pendekatan
moral yang terdapat dalam novel “Serdadu Pantai”terlihat pada kutipan berikut
ini:
“Adapu
sebagian warga lainya di kampungku bekerja sebagai guru. Profesi guru dijalani
bukan dengan ijazah Sekolah Pendidikan Guru (SPG), melainkan karena panggilan
hati nurani, mengabdi kepada Negara. Selain itu ada juga abdi balai desa dan
pemuda yang secara sukarela menjadi pengurus KUD di kampong kami dan di kampong
tetangga”.
2. Pendekatan
sosial yang terdapat dalam novel “Serdadu Pantai”terlihat pada kutipan berikut
ini:
“Pekerjaan
Surman menjadi lebih ringan karena adanya bantuan tenaga dari kami sehingga
kami cepat selesai menurunkan ikan-ikan itu dari bak mobil pikap”.
3. Pendekatan
Mimesis yang terdapat dalam novel “Serdadu Pantai”terlihat pada kutipan berikut
ini:
“Sejak
subuh, aktivitas para pedagang yang menuju pasar, yang bersatu dengan pasar
ikan, sudah mulai menunjukan kegiatannya. Apalagi di tempat pelelangan ikan
karena beberapa perahu nelayan biasanya sudah ada yang dating merapat di
dermaga kayu setelah sejak kemarin sorenya pergi melaut”.
“Kadang
juga menjelang matahari terbit di ufuk timur, beberapa perahu nelayan lainnya
juga menyusul. Para penjual ikan dalam jumlah hitungan keranjang besar pasti
sudah mulai melakukan transaksi tawar-menawar, atau memesan ikan yang ingi
dibelinya nanti”.
BAB IV
4.1.Simpulan
Dapat disimpulkan di dalam Novel “Serdadu Pantai” karya Laode M.
Insan memang memiliki nilai humaniora. Untaian kalimat dalam novel ini ibarat
tetes-tetes embun yang memanaskan bara kebanggan pada tanah air kelahiran di
Pulau Buton, dan memperkaya nurani kemanusiaan. Dari dialog-dialog antar tokoh,
dapat dilihat bagaimana nilai-nilai dan pendekatan-pendekatan yang derdapat
dalam novel tersebut.
4.2.Saran
Suatu apresiasi dalam karya sastra sangat
dibutuhkan. Karena karya sastra tapa diapresiasi tidak akan lengkap rasanya.
Menurut penulis, akan lebih baik untuk kita mengapresiasi karya sastra misalnya
dengan cara membaca, mendengarkan atau menonton, karena akan banyak pengetahuan
baru yang nantinya bisa kita dapatkan.
makasi kak :) sangat bermanfaat
BalasHapussangat bermanfaat, terimakasih
BalasHapussangat membantu, terimakasih
BalasHapusiya sama-sama.
BalasHapus