kritik sastra novel yang berjudul serdadu pantai karya Laode M. Insan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat, sering kita mendengar kata “sastra”. Namun, tidak semua orang paham tentang apa itu “sastra”. Sastra sebagai suatu karya seni menggunakan bahasa sebagai pembentuknya. Dasar penggunaan bahasa dalam sastra bukan sekedar untuk dipahami tetapi lebih penting dari itu, mampu mengusik kesan atau pun sensitivitas pembaca. Dalam sastra terdapat peristiwa-peristiwa hidup dan kehidupan yang terjadi di masyarakat. Sastra adalah suatu wadah untuk menampung imajinasi seni manusia dalam bentuk tulisan. Imajinasi manusia tersebut bersumber dari pengalaman hidup pengarang atau pengalaman hidup orang lain. Sastra merekam kehidupan masyarakat pada suatu masa. Sastra sangat terikat dengan ruang dan waktu. Sehingga apa yang disebut sastra pada suatu tempat dan atau masa, belum tentu sama dengan di tempat dan atau masa yang lain. Sehubungan dengan hal itu, logikanya, arti sebuah karya sastra tergantung pada maksud pengarang (sugihastuti,2009:2).
Dalam (sutresna; 2006) penciptaan karya sastra tidak terlepas dari keterlibatan sosial pengarang dengan lingkungan masyarakatnya. pengarang sebagaimana halnyadengan anggota masyarakat lainnya, tidak bisa tidak akan selalu berinteraksi dengan lingkungan masyarakatnya. Interaksi dan relasi pengarang dengan lingkungannya harus selalu peka terhadap masalah-masalah sosial, paling tidak dengan lingkungan disekitarnya. Pengarang memiliki daya sorot apresiasi yang tajam terhadap broblema-problema yang ada di masyarakatnya untuk dijadikan sumber ide, yang pada gilirannya dituangkan dalam ungkapan sastra.
Banyak sekali nilai-nilai yang ada di dalam suatu karya sastra. Nilai-nilai dalam suatu karya sastra antara lain: nilai hedonik, nilai artistik, nilai kultural, nilai moral, nilai praktis, nilai sosial, nilai pendidikan, dan nilai humaniora.

Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra, terlebih dahulu kita harus melakukan apresiasi terhadap karya sastra tersebut. Apresiasi sastra adalah suatu kegiatan menggauli karya sastra (dalam bentuk utuh) dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Effendi, 1993).
Salah satu karya sastra, yaitu novel. Dalam novel terkandung nilai-nilai kehidupan yang dapat diapresiasi. Dalam pembahasan ini penulis memilih novel “serdadu pantai” karya Laode M. Insan yang akan diapresiasi melalui suatu analisis. Alasan penulis milih novel “serdadu pantai” untuk dianalisis, yaitu karena banyak sekali nilai-nilai yang terkandung di dalam novel tersebut. Novel serdadu pantai mengisahkan tentang empat orang sahabat yang berjuang demi kehidupannya. Semangat yang dimiliki empat sahabat ini sangat besar untuk menghadapi kehidupan yang sangat keras. Ironi kehidupan masyarakat Boton yang jauh dari sederhana di tanah mereka yang kaya hasil bumi.
Analisis novel ini, difokuskan pada unsur intrinsik dan ekstrinsik yang membangun karya sastra, yaitu tata nilai. Salah satu tata nilai yang ada dalam karya sastra adalah nilai humaniora. Pada makalah ini, penulis memfokuskan analisis novel “serdadu pantai” karya Laode M. Insan pada nilai humaniora dengan beberapa pendekatan yang mendukung nilai humaniora tersebut.
1.1  Rumusan Masalah
1.1.1        Bagaimana identitas novel “Serdadu Pantai”?
1.1.2        Bagaimana sinopsis novel “Serdadu Pantai”?
1.1.3        Bagaimana representasi nilai humaniora dalam novel “Serdadu Pantai”?
1.1.4        Pendekatan apa saja yang mendukung nilai humaniora yang terkandung dalam novel “Serdadu Pantai” tersebut?


1.2  Tujuan
1.2.1        Untuk mengetahui identitas novel “Serdadu Pantai”.
1.2.2        Untuk mengetahui sinopsis novel “Serdadu Pantai”.
1.2.3        Bagaimana representasi nilai humaniora dalam novel “Serdadu Pantai”?
1.2.4        Pendekatan apa saja yang mendukung nilai humaniora yang terkandung dalam novel “Serdadu Pantai” tersebut?

1.3  Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari analisis novel “Serdadu Pantai” antara lain sebagai berikut:
1.      Dengan menganalisis novel serdadu pantai, penulis dapat meningkatkan daya apresiasinya.
2.      Penulis dapat menggali dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam novel “Serdadi Pantai” terutama nilai humaniora dan pendekatan-pendekatan yang mendukung nilai humaniora tersebut.












BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Kritik Sastra
Istilah “kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani, yaitu krites yang berarti “hakim”. Krites sendiri berasal dari kata krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti “dasar penghakiman”, dan kritikos yang berarti “hakim kesastraan”. Kritik sastra merupakan salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang sifatnya melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni. Abrams (Pradotokusumo, 2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu sastra yang fokus implementasinya berurusan dengan perihal perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian terhadap karya sastra.
Kritik sastra, menurut Semi dalam Seloka Sudiara (2005), merupakan upaya menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk memberikan pujian, mengatakan kesalahan, memberikan pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistematik, dan menurut Seloka Sudiara yang mengutip pendapat dari Handre Harjana, dalam Kritik Sastra, Sebuah Pengantar  (1991) memberikan pengertian kritik sastra sebagai hasil usaha pembaca mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik, yang dinyatakan dalam bentuk tulisan. Analisis struktualisme merupakan prioritas pertama sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra tersebut tidak dapat ditangkap. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya, dan dinilai atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur karya itu di dalam keseluruhan karya sastra.
Adanya kritik sastra dapat memajukan khasanah dunia sastra karena seperti kata pepatah, tidak ada perubahan yang berarti tanpa kritik. Jadi keberadaan kritik sastra tentunya akan membawa perkembangan yang baik dalam dunia sastra. Dalam melakukan sebuah kritik sastra, tentunya ada syarat yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum menjalankan kritik sastra, yaitu mengadakan apresiasi sebelumnya.

             
2.2. Pendekatan-Pendekatan dalam Kritik Sastra
Metode mendekati karya sastra lazim disebut dengan istilah pendekatan sastra. Bagaimana cara seseorang memandang sastra itu akan memberi pengaruh dan jika seseorang tersebut seorang kritikus akan memberi bentuk terhadap pendekatan yang digunakannya dalam melakukan kritik sastra.
Berbagai pendekatan ditawarkan, salah satu diantaranya pendekatan mimesis, pendekatan pragmatis (reseptif), pendekatan ekpresif, pendekatan objektif (structural), pendekatan semiotik, pendekatan sosiologi, pendekatan psikologis, pendekatan moral. Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dianalisis berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari berbagai unsur yang ada di luar struktur signifikansinya. Kritik sastra pernah dikotak-kotakkan dengan berbagai cara menurut sifat, tujuan, sejarah, atau lingkungan sosial geografis tertentu (Sudiara, 2005: 51). Hal tersebut telah menunjukkan bagaimana para kritikus dan para ilmuan sastra mencoba mendekati sastra melalui berbagai jalur dan ikhtiar.
Pendekatan yang satu dengan pendekatan yang lainnya saling berhubungan. Adapun pendekatan-pendekatan yang lazim digunakan dalam melaksanakan kritik sastra (Sudiara, 2005: 52—59), yaitu:

1.      Pendekatan Mimesis
Pendekatan ini berangkat dari pemikiran bahwa sastra, sebagaimana hasil seni yang lain, merupakan pencerminan atau representasi kehidupan nyata. Sastra merupakan tiruan atau pemaduan antara kenyataan dan imajinasi pengarang. Bisa juga dikatakan bahwa sastra merupakan hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu kenyataan. Menurut Aristoteles, istilah mimesis memiliki makna yang lebih tinggi dari sekadar kenyataan. Istilah tersebut mengandung makna kebenaran yang lebih umum, kebenaran yang universal, bukan sekadar kenyataan seperti apa adanya.
2.      Pendekatan Pragmatis
           Pendekatan pragmatis menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang dapat memberi kesenangan dan faedah bagi pembacanya. Dengan demikian, pendekatan ini menggabungkan antara unsur pelipur lara dan unsur didaktis. Pemanfaatan pendekatan ini harus berhadapan dengan relativitas konsep keindahan dan nilai didaktis. Setiap generasi pada setiap kurun waktu tertentu harus menentukan kembali nilai keindahan dan nilai didaktis menurut kondisi waktu itu, akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa interpretasi hanya subjektif belaka. Ada semacam kaitan atau kesinambungan antara sesuatu yang lama dan sesuatau yang dianggap baru. Di Indonesia, sejak dahulu ada anggapan bahwa aspek didaktis dan unsur keindahan merupakan dua unsur yang penting.(Seloka, 2005:52)
           Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek tertentu pada pembaca atau pendengar, baik berupa efek-efek kesenangan ataupun ajaran/pendidikan maupun efek-efek yang lain. Kritik ini menilai karya sastra menurut keberhasilannya mencapai tujuan tersebut. (Menurut Abrams dalam Gunatama, 2004/2005: 96)

3.      Pendekatan Moral
     Pendekatan moral dalam kritik sastra sering pula dianut oleh beberapa kritikus. Pendekatan ini berangkat dari dasar pemikiran bahwa suatu karya sastra dianggap sebagai suatu medium yang paling efektif membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Moral dalam hal ini diartikan sebagai suatu norma, suatu konsep tentang kehidupan yang disanjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Moral yang dipegang teguh oleh suatu masyarakat tidak berarti statis, tidak berubah. Ukuran moral yang terdapat dalam masyarakat juga mengalami perubahan menurut gerak pertumbuhan masyarakat yang bersangkutan.
     Pada dasarnya, teknik atau metode yang dipilih seorang kritikus bertolak dari sikap dan pandangannya mengenai apa hakikat sastra itu sendiri.  Pandangan dan sikap seorang kritikus terhadap sastra dan kritik sastra merupakan pendekatan. Pada sisi yang lain, pendekatan itu sendiri merupakan kerangka berpikir dalam melakukan kirtik yang pada akhirnya akan membentuk langkah kerja (Teknik atau metode penelahaan) (Seloka, 2005: 48).

4.      Pendekatan Ekspresif
            Pendekatan ini menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau (terutama) penyair dalam mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra. Kemampuan pengarang menyampaikan pikiran yang agung dan emosi yang kuat menjadi ukuran keberhasilan sebuah karya sastra. Dalam hal ini yang menjadi ranah garapan para pengkritik adalah ranah kejiwaan pengarang.
            Menurut Abrams, kritik ini memandang karya sastra terutama dalam hubungannya penulis sendiri. Kritik ini mendefinisikan karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan, atau ucapan perasaan. Atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaannya. (Gunatama, 2004/2005: 97).

5.      Pendekatan Objektif
           Pendekatan ini membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini, kritikus memandang karya sastra sebagai suatu kebulatan makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi instrinsik suatu karya sastra, yaitu tema, alur, plot, penokohan, dan gaya bahasa. Perpaduan harmonis antara bentuk dan isi merupakan kemungkinan kuat untuk menghasilkan karya sastra yang bermutu. (Seloka, 2005:53)


6.      Pendekatan Semiotik
     Pendekatan semiotik ini pada dasarnya merupakan pengembangan terhadap pendekatan objektif atau pendekatan struktural, yaitu penelaahan sastra dengan mempelajari setiap unsur yang ada di dalamnya, tanpa ada yang dianggap tidak penting, dan melihat karya sastra sebagai sesuatu yang terikat kepada sistem yang dibentuknya sendiri sehingga sistem yang ada di luarnya tidak berlaku terhadapnya. Sesuatu yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat akan tecermin di dalam karya sastra, karena karya sastra itu tidak dapat melepaskan diri dari sistem kemasyarakatan itu sendiri. Penting adanya analisis yang memperhatikan atau memandang sesuatu sebagai suatu sistem, yakni sistem tanda, sesuai dengan pandangan semiotik. Pandangan semiotik bukan hanya dapat menghubungkan sistem dalam karya sastra itu sendiri, tetapi juga dengan sistem yang ada di luarnya, dengan sistem kehidupan.

7.      Pendekatan Sosiologis
           Pendekatan  ini bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang mengungkapkan tentang suka duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui  dengan sejelas-jelasnya. Bertolak dari pandangan itu, telaah atau kritik sastra yang dilakukan terfokus atau lebih banyak memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan, yang terdapat dalam suatu karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dan pengembangan tata kehidupan (Saini, 1989, Sumardjo, 1986, Soekito, 1989  dalam Seloka, 2005:55).
           Pembahasan sastra secara sosiologik dapat mengembangkan kecenderungan lain secara lebih jauh lagi, yakni kecenderungan untuk menafsirkan tokoh-tokoh khayalan dengan lingkungannya itu sebagai identik dengan - tidak lain dan tidak bukan- adalah atau mewakili tokoh-tokoh dalam suatu kelompok sosial tersebut. (Andre Harjana, : 73)

8.      Pendekatan Psikologis
           Menurut Seloka, pendekatan psikologis adalah pendekatan penelaahan sastra yang menekankan pada segi-segi psikologis yang terdapat dalam suatu karya sastra. Segi-segi psikologis ini mendapat perhatian dalam penelaahan dan penelitian sastra disebabkan oleh timbulnya kesadaran bagi para pengarang, yang dengan sendirinya juga bagi kritikus sastra, bahwa perkembangan dan kemajuan masyarakat pada masa atau zaman modern ini tidaklah semata-mata dapat diukur dari segi material atau jasmaniah, tetapi juga dari segi rohaniah atau kejiwaaan.
          
2.3. Nilai- Nilai dalam Kritik Sastra
Kritikus sastra dalam melakukan kritiknya melewati suatu proses penghayatan keindahan yang serupa dengan proses yang dilalui pengarang dalam melahirkan karyanya. Proses penghayatan keindahan seorang kritikus bermula dari pengamatan dan pencernaan jiwanya atas suatu karya. Dalam penghayatan itu, seorang kritikus juga dapat larut lewat persepsinya atas karya yang dihadapinya. Penghayatan keindahan yang tidak lain adalah juga merupakan penghayatan nilai. Penghayatan nilai tersebut dapat dikatakan sebagai penghayatan dan pengalaman estetik. Penghayatan estetik berarti penemuan nilai, dan bagaimana penemuan itu terjadi, serta mengapa penilaian itu terjadi tidak terlepas dari apa hakikat nilai sastra dan nilai karya sastra.
Beberapa jenis nilai yang terdapat dalam suatu karya sastra, yaitu sebagai berikut:
1.    Nilai hedonik
Suatu karya sastra dikatakan mengandung nilai hedonik jika karya sastra tersebut memberikan kesenangan secara langsung kepada penikmatnya.
2.    Nilai artistik
Suatu karya sastra dikatakan memiliki nilai artistik apabila karya sastra itu mencerminkan suatu seni atau keterampilan pengarang dalam meramu unsur-unsur cerita atau karya sastra.
3.    Nilai kultural
Nilai kultural itu ada apabila karya sastra menggambarkan kehidupan suatu masyarakat. Karya sastra memiliki hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban, atau kebudayaan tertentu.
4.    Nilai etis, moral, religius
Nilai etis, moral, religius berkaitan dengan ajaran-ajaran yang ada hubungan dengan hal itu. Etika berkaitan dengan sopan santun, atau nilai kesopanan. Moral ada kaitannya dengan iman, pemikiran, dan perilaku seseorang yang dapat ditolak atau diterima oleh masyarakat. Nilai agama adalah nilai-nilai yang disabdakan Tuhan dan berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut keyakinan dan kepercayaan kita terhadap Tuhan. Manusia melaksanakan nilai-nilai itu dengan baik apabila:
·         Menyadari dirinya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala sifat dasar, potensi dasar, serta hak dan kewajiban asasi yang melekat pada harkat, kodrat, dan martabatnya sebagai manusia.
·         Menyadari hak dan kewajibannya sebagai makhluk individu,   makhluk sosial, dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
·         Mengaktualisasikan sifat dasar dan potensi dasar yang dimilikinya, serta melaksanakan segala hak dan kewajiban asasinya, sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
5.    Nilai praktis
Sebuah karya sastra dikatakan mengandung nilai praktis jika karya sastra itu memberikan sesuatu (faedah) yang dapat dilaksanakan atau dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. (Tarigan dalam Seloka, 2005:35)
6. Nilai Sosial
Nilai sosial merupakan nilai yang berkaitan dengan masyarakat. Setiap karya sastra mengandung nilai sosial karena sasaran sastra adalah masyarakat.

7. Nilai Pendidikan
Sebuah karya sastra dikatakan memiliki nilai pendidikan apabila karya sastra itu mengandung hal- hal positif meningkatkan kecerdasan dan mempertinggi tingkat kepribadian. Nilai pendidikan dalam sebuah karya sastra tidak hanya memberikan suatu pengetahuan semata, tetapi sekaligus cara penerapannya dalam kehidupan masyarakat. Nilai pendidikan dapat memberikan inspirasi dan motivasi kepada penikmat sastra. Jadi,  nilai pendidikan dalam karya sastra dapat memberikan berbagai faedah bagi penikmat sastra.
8. Nilai Humaniora
Karya sastra merupakan wadah pendidikan humaniora. Artinya, karya sastra mampu mengangkat harkat martabat manusia dan kemanusiaannya. Nilai humaniora sangat berharga karena mengajarkan kita tentang hakikat manusia dan menghargai manusia lainnya termasuk menghargai Hak Asasi Manusia.












BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Identitas Novel “Serdadu Pantai”
Judul               : Serdadu Pantai
Penulis             : Laode M. Insan
Negara             : Indonesia
Bahasa             : Indonesia
Penerbit           : Jakarta, Noura Books
Tahun  terbit    : 2013
Halaman          : 394 halaman
Ukuran             : 14x21 cm
ISBN                : ISBN 978-602-7816-63-3


3.2. Sinopsis Novel “Serdadu Pantai”
Hari itu, sabtu sore. Aku bersama ketiga sahabatku, Surman, Odi, dan Poci, berjalan menembus hutan, sepulang dari bekerja di kebun orang. Itu hari pertama kami mencoba mencari upah sendiri, membantu orangtua kami. Kami sebaya, sama-sama berusia antara delapan dan Sembilan tahun. Ketika itu kami ingin cepat sampai di kampung kami, Laompo, sebuah kampung kecil di pesisir selatan Pulau Buton. Jadi kami pulang lewat hutan yang sangat sunyi sebagai jalan pintas walaupun dengan resiko menghadapi bahaya. Tiba-tiba, kesunyian itu pecah oleh ulah Poci. Tanpa berkata apa pun Poci berderap lari meninggalkan kami. Aku terkejut dan langsung berteriak “Pagere-gere”. Odi dan Surman pun ikut terkejut. Kami bertiga langsung lari sekencang-kencangnya agar terhindar dari bahaya pagere-gere. Ayo lari, cepat Dayan, seru Odi tanpa menoleh kepadaku. Karena pada saat itu aku memang tertinggal jauh. Ahhirnya kami pun bebas dari ancaman pagere-gere dan tiba di pantai.
Di pantai kami pun menyaksikan sunset ditemani dengan memakan jambu mete hasil upah bekerja. Tiba-tiba ada serang bapak-bapak yang berteriak “ Dayan, tadi kau dicari sama ina-mu. Saya dengar katanya kambingmu terlepas, tidak tahu lari kemana”. Akhirnya aku pun cepat-cepat pulang ke rumah setelah mendengar kabar tersebut. “Gawat”, apakah benar kambing itu hilang, kalau benar aku akan sangat bersalah, karena aku yang mengikatnya tadi pagi di bawah pohon dekat rumah. Kambing itu dibeli bapakku untuk nantinya dijadikan hewan kurban. Gara-gara kecerobohan ku meninggalkan kambing itu, akhirnya kambing itu hilang. Sampai di rumah aku langsung diinterogasi oleh ibuku. Ibu marah padaku, aku tak bisa berkata apa-apa, aku hanya bisa meremas erat kantong plastic yang berisi jambu mete hasil upah tadi. Bapakku pun dating dan mendinginkan suasana. “sebenarnya kami memang marah padamu, supaya kau tahu mana yang benar dan mana yang salah” kata bapakku. “itu kantong plastic, apa isinya?” Tanya ibuku. “ ini.. jambu mete hasil kerjaku tadi sama Odi, Poci, dan Surman. Kami dapat upah jamu habis bantu Kakek Deka. “Dayan, sebenarnya bagus itu, kau sudah mulai belajar mandiri, berusaha sendiri. Tapi, jangan kau lupa, kau harus mempunyai rasa tanggungjawab. “kamu mau jadi apapun nanti setelah besar, tetap jangan lupakan yang namanya tanggung jawab, jujur, disiplin, dan masih banyak lagi” kata bapakku. “ iya” jawabku pelan. Aku mulai menyadari kesalahanku. Aku mulai menyadari kesalahanku. Hatiku pun lega, karena kambing itu berhasil ditemukan. Dari kejadian itu, aku harus bisa bertanggungjawab atas apa yang telah aku perbuat.
Pulau Botun tempat tinggalku dikenal sebagai satu-satunya pulau penghasil aspal di Indonesia, bahkan yang terbesar di dunia. Pada 1970-an, aspal di Buton pernah membawa keberkahan bagi penduduk setempat. Namun, masa itu tidak berlangsung lam. Tidak disangka, dengan adanya pergantian perusaha yang mengelola aspal tersebut, pundi keberkahan juga ikut turun drastic. Akhirnya masyarakat pun harus melalukan pekerjaan lain, yaitu melaut karena daerahnya ada di pesisir.
Siang itu, aku dan tiga sahabatku naik sampan milik Odi, berloba menuju tengah laut untuk mengejar kapal motor penumpang yang sedang melintas. Semua itu kami lakukan untuk menjalani hubi kami, yaitu berenang dilautan untuk mencari koin yang di lemparkan oleh menumpang kapal motor.
Menjelang siang udara terasa panas. Aku masuk ke rumah untuk menaruh buku dan pensilku. Aku juga mengganti seragam sekolahku, dan langsung menuju dapur. Sehabis makan ibu menyuruhku memberi makan kambing. “ Dayan” teriak bapakku. Aku di suruh bapakku pergi ke rumah penjual kambing untuk membayar sisa hutang kambing yang belum lunas tersebut. Aku pun pergi naik sepeda bapakku dengan kecepatan tinggi. Tak disangka akupun menabrak seorang anak laki-laki. Dia marah padaku dan mengeroyok bersama dua orang temannya, uang yang dikasi bapakku pun diramapas. Mereka pun cepat lari, sehabis dari keluar dari hutan dan membawa banyak jambu. Salah satu dari mereka berkata, “hai, ayo kita cepat pergi, nanti kita dikejar lagi”. Pikirku itu pagere-gere yang mengejar mereka dari hutan. Akhirnya aku ikut lari. Sial sekali nasibku waktu itu. Aku bingun mau bilang apa kepada bapakku antara aku berbohong atau aku harus jujur. Namun sampai di rumah aku memilih berbohomg dan mengatakan uang untuk membayar kambing itu sudah aku berikan kepada penjual kambingnya.
 Di kampungku, sama seperti di kampung tertinggal lainnya. Tidak ada SD negeri. Yang ada hanya SD bantu. Namanya SD APA ADANYA. Maksud kata “seadanya” yang lain adalah pengetahuan guru, pengetahuan kami, ruang kelas, alat-alat penunjang belajar, biaya iyuran sekolah, semua serba “seadanya”.
Surman sedang rebahan di ruang depan rumahnya ketika aku membawakan makanan kepadanya. Aku langsung memberikan makanan itu kepada ibunya. Siang itu, Surman sudah mempunyai ide untuk ikut ayahnya melaut karena besok lubur sekolah. Surman tak sabar menunggu bapaknya yang masih melaut. Tiba-tiba ada seorang warga yang dating dan mengatakan kapal yang dinaiki oleh bapaknya surman terbalik di hantam ombak. Tanpa basa-basi Surman, ibunya, aku, odi, dan poci pun langsung menuju dermaga. Sampai di dermaga berita buruk pun harus di terima oleh keluarga Surman, bapaknya meninggal. Keluarga surman pun sangat terpuruk apalagi setelah musibah itu, ada seorang renternir bernama la maseke dating meminta uang yang dipinjam bapaknya surman semasih hidup. Sebenarnya hutangnya itu 2juta, akan tetapi karena lama tidak dibayar, hutang itu menjadi 10juta. Sungguh malang nasib keluarga surman akhirnya rumahnya pun di sita untuk membayar hutang-hutang tersebut. Masyarakat sangat kasihan kepada mereka. Akhirnya dibuatkanlah keluarga Surman sebuah gubuk kecil yang sederhana sebagai tempat tinggal. Semenjak kejadian tersebut Surman haru menjadi punggung keluarga untuk menghidupi kebutuhannya, ibu, dan adiknya watina. Ibu Surman pun semakin hari semakin kehilangan kesadarannya, katakana saja ibunya menjadi kurang waras. Pagi-pagi surman bekerja di dermaga sebagai buruh angkat, atau terkadang ia memjual ikan orang lain. Hasilnya lumayan bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, dan untuk sekolahnya. Suatu ketika, Surman mempunyai ide yang sangat bagus untuk menambah penghasilannya, Surman mengajak aku, Odi, dan Poci menjual kalung kerang ke  Festival Benteng Kerato Buton, karena di sana pasti banyak ada tusis-turis asing. Akhirnya kami pun berhasil menjual kalung-kalung kerang itu dengan bantuan seorang guide amatiran, yaitu Latono seorang sarjana pengangguran.
Sering aku saksikan anak orang kaya yang merasa bangga di hadapan orang lain atas keadaan ekonomi orang tuangnya. Sebaliknya, kerap juga kulihat anak yang merasa malu dengan keberadaan orang tuanya, yang tingkat ekonomi, kedudukan, dan kehormatan berada dalam tingkatan terendah dari sudut pandang manusia. Anak tersebut kadang malu dan tidak ingin mengakui orang tuanya. Hal tersebut sudah kusaksikan langsung pada watina adik sahabatku. Watina tega membiarkan ibunya keluar sendiri dengan kondisi kejiwaannya seperti itu. Surman pun sangat marah dan terkejut mendengar alasan adinya. Yaitu dia malu karena mempunyai ibu kurang waras. Dia sering diejek oleh teman-temannya. Namun surman tetap menasehati adiknya supaya tetap bersyukur. “Meskipun ibu begitu, dia tetap ibu kita” kata Surman.
Suatu ketika saat pembelajaran berlangsung di SD APA ADANYA. Kami murid-murid di sana di kejutkan dengan kedatangan Watina yang memanggil Surman, mengatakan bahwa penyakit menggigil ibunya kambuh lagi. Tanpa berpikir panjang Surman, Aku, Odi, Poci, dan ibu Ros langsung menuju ke rumah Surman. Pada akhirnya Ibu Surman pun meninggal. Lengkaplah sudah penderitaanya, Surman dan Watina sekarang menjadi yatim piatu. Surman sangat terpukul. Dia mengingat kembali kejadian asal mula ibunya mulai kehilangan kesadarannya, yaitu pada saat La Maseke menyita rumahnya. Surman sangat benci sekali dengan La Maseke, dan Surman berniat untuk membayar lunas hutang bapaknya dan mengambil kembali rumah milik keluarganya, yaitu dengan bekerja keras. Meskipun uang 10juta tersebut tidak sedikit, dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Pagi-pagi sebelum kesekolah aku, Poci, dan Odi ikut dengan Surman bekerja di dermaga dengan mengangkat keranjang ikan atau menjual ikan orang. Semakin hari Surman semakin dipercaya kerjanya oleh Makelar La Wino untuk mengirim ikan-ikannya ke Pasar Wameo di Kota Baubau. Aku, Oci, dan Poci pun ikut membantu Surman ke sana. Setelah sampai di Pasar Wameo, kami pun langsung bejerja dan pekerjaan kami pun selesai dengan baik. Pada saat perjalanan pulang Surman kena musibah karena menolong anak kecil yang hampir ditambak geng motor. Surman langsung d bawa ke rumah sakit. Ibu anak tersebut yang bernama ibu Sarnia membayar biaya rumah sakit, dan dia berjanji untuk bekerja sama dengan bosnya Surman, karena ibu Sarnia adalah seorang makelar juga. Surman dan Ibu Sarnia pun semakin dekat hubungannya. Namun Hubungan baik karena bisnis itu pun akhirnya berakhir ketika Ibu Sarnia itu di ketahui adalah anak dari seorang yang sangat dia benci, yaitu anak La Maseke. Ibu sarnia pun akhirnya mengetahui masalah Surman dan ayahnya. Ibu sarnia sepakat dengan keluarganya untuk mengembalikan rumah Surman, namun Surman tetap menolak. Sebelum dia berhasil membayar hutangnya dia akan mau menerima rumah itu. Keberuntungan pun mendatangi Surman karena dia rajin menabung. Surman memenangkan hadiah  undian tabungan bank di KUD tahun ini di Baubau.  Hadiah yang didapatkan yaitu 10 juta. Surman sangat senang, dengan itu dia akan membayar hutang ayahnya kepada La Maseke sebesar 10 juta. Namun, belakangan ini kami tidak pernah melihat La Maseke masuk ke desa kami. Akhirnya surman pun memberi uang itu kepada Ibu sarnia. Akhirnya ibu Sarnia pun menolak. Keluarga Ibu Sarnia pun sepakat hutang itu sudah dilupakan, dan dia meminta maaf kepada Surman atas kesalahan-kesalahan La Maseke. Surman tetap tidak mau melupakan saja hutang ayahnya. Akhirnya kesepakatan pun di temui, yaitu surman haya membayar hutang bapaknya sebesar 2juta tanpa bunganya. Kami semua pun menayakan di mana keberadaan La Maseke karena akhir-akhir ini La Maseke jarang kelihatan. Keluarga Ibu Sarnia pun langsung menangis dan mengatakan bahwa La Maseke sudah meninggal gara-gara stroke.
            Dari kejadian-kejadian itu, aku sangat bangga terhadap ketiga sahabatku terutama Surman. Bagi kami, pertunjukan drama kehidupan harus tetap dihadapi dengan penu semangat.
3.3. Representasi Nilai Humaniora dalam Novel “Serdadu Pantai”
       humaniora adalah ilmu pengetahuan yang meliputi agama, filsafat, bahasa dan sastra, seni, dan sebagainya. Humaniora adalah cerita, ide dan kata-kata yang membantu kita merasakan kehidupan dan dunia kita. Humaniora mengenalkan kita pada orang-orang yang tidak pernah kita temui, tempat yang tidak pernah kita kunjungi, dan ide yang tidak pernah terlintas dalam benak kita. Dengan memperlihatkan bagaimana orang lain hidup dan berpikir tentang kehidupan, humaniora membantu kita menentukan hal penting dalam kehidupan dan hal apa yang dapat kita lakukan untuk membuatnya lebih baik.
Jadi nilai humaniora merupakan nilai yang ada dalam kehidupan manusiakan dan kemanusiaannya. Dalam novel “Serdadu Pantai” terdapat banyak sekali representasi nilai humaniora. Nilai- nilai humaniora tersebut terlihat pada penggalan-penggalan paragraf berupa pernyataan dan dialog antartokoh. Penggalan-penggalan tersebut antara lain sebagai berikut.
1.      Maka, hal terpenting yang begitu kuingat tentang kejadian masa kecil itu adalah perlunya keberanian melawan rasa takut. Siap berusaha dengan sungguh-sungguh, dan harus menerima resiko dari setiap hal yang dilakukan. Termasuk pentingnya etika dalam hidup seseorang, salah satunya bersikaplah yang sopan dengan tidak boang angina di sembarang tempat (hlm;14)
Penggalan paragraf tersebut membutikan bahwa ketakutan yang dialami oleh seseorang, dapat dilawan dengan keberania untuk menjadi manusia yang tidak terpuruk dengan ketakutan. Etika dan sopan santun sangat dibutuhkan dalam hidup seseorang agar menjadi lebih baik lagi. Semua itu merupakan representasi dari nilai  humaiora.
2.      “mungkin itulah hidup yang penuh warna. Dan, aku tetap bersyukur dengan masa kecil yang aku lalui. Kehidupanku bersama ketiga sahabat dekatku memberikan banyak kisah, dan pada akhirnya membuatku berpikir bahwa tidak ada alasan sedikit pun untuk tidak mensyukuri hidup ini”(hlm;65)
Penggalan paragraf tersebut membuktikan bahwa adanya representasi nilai humaniora, yaitu rasa bershukur menghadapi kehidupan ini sangat penting, meski pun hidup terkadang penuh dengan perjuangan namun rasa syukur itu harus tetap ada.

3.      “Surman sedang rebahan di ruang depan rumahnya ketika aku ke sana mengantarkan kapusu, makanan dari jagung tua beserta santannya yang kental. Sebagai tetangga yang rumahnya bersebelahan, kami memang saling memberi walaupun seadanya” (hlm;87)
Saling perduli dan memberi, merupakan representasi dari nilai humaniora. Saling memberi walaupun seadanya merupakan suatu cerminan bahwa orang tersebut mempunyai rasa perduli terhadap sesamanya.
4.      “Rasa iba dan cinta kasih seorang ibu seakan langsung menyelimuti hatinya, bagaimanapun kesalahan seorang anak, ternyata kasih sayang “ibu sangat besar” (hlm;104)
Rasa kasih saying seorang ibu sangatlah besar. Meskipun kesalahan  apa yang dilakukan oleh anaknya sangat besar. Seorang ibu pastia akan selalu menasehatinya.
5.      “Tapi, ingat” kata bapakku. “Kau harus selalu jujur. Pegang teguh itu kejujuran. Orang bisa celaka hidupnya kalau tidak jujur”. (hlm;108)
Penggalan paragraf tersebut membuktikan bahwa kejujuran merupakan salah satu representasi nilai humaniora. Di dalam kehidupan kejujuran tersebut sangat penting bagi seseorang.
           Demikianlah beberapa pengalan-penggalan paragraph yang membuktikan adanya representasi nilai humaniora. Namun, sesungguhnya masih banyak lagi representasi nilai humaniora yang terdapat dalam novel “Serdadu Pantai”, tetapi hanya beberapa saja yang dipaparkan.

3.4. Pendekatan-Pendekatan yang Mendukung Nilai Humaniora yang Terkandung dalam Novel “Serdadu Pantai”
Pendekatan-pendekatan yang mendukung nilai humaniora yang terdapat dalam novel “serdadu Pantai”, yaitu: Pendekatan moral, pendekatan sosial


1.      Pendekatan moral yang terdapat dalam novel “Serdadu Pantai”terlihat pada kutipan berikut ini:
“Adapu sebagian warga lainya di kampungku bekerja sebagai guru. Profesi guru dijalani bukan dengan ijazah Sekolah Pendidikan Guru (SPG), melainkan karena panggilan hati nurani, mengabdi kepada Negara. Selain itu ada juga abdi balai desa dan pemuda yang secara sukarela menjadi pengurus KUD di kampong kami dan di kampong tetangga”.
2.      Pendekatan sosial yang terdapat dalam novel “Serdadu Pantai”terlihat pada kutipan berikut ini:
“Pekerjaan Surman menjadi lebih ringan karena adanya bantuan tenaga dari kami sehingga kami cepat selesai menurunkan ikan-ikan itu dari bak mobil pikap”.
3.      Pendekatan Mimesis yang terdapat dalam novel “Serdadu Pantai”terlihat pada kutipan berikut ini:
“Sejak subuh, aktivitas para pedagang yang menuju pasar, yang bersatu dengan pasar ikan, sudah mulai menunjukan kegiatannya. Apalagi di tempat pelelangan ikan karena beberapa perahu nelayan biasanya sudah ada yang dating merapat di dermaga kayu setelah sejak kemarin sorenya pergi melaut”.
“Kadang juga menjelang matahari terbit di ufuk timur, beberapa perahu nelayan lainnya juga menyusul. Para penjual ikan dalam jumlah hitungan keranjang besar pasti sudah mulai melakukan transaksi tawar-menawar, atau memesan ikan yang ingi dibelinya nanti”.
















BAB IV
PENUTUP
4.1.Simpulan
Dapat disimpulkan di dalam Novel “Serdadu Pantai” karya Laode M. Insan memang memiliki nilai humaniora. Untaian kalimat dalam novel ini ibarat tetes-tetes embun yang memanaskan bara kebanggan pada tanah air kelahiran di Pulau Buton, dan memperkaya nurani kemanusiaan. Dari dialog-dialog antar tokoh, dapat dilihat bagaimana nilai-nilai dan pendekatan-pendekatan yang derdapat dalam novel tersebut.
4.2.Saran
Suatu apresiasi dalam karya sastra sangat dibutuhkan. Karena karya sastra tapa diapresiasi tidak akan lengkap rasanya. Menurut penulis, akan lebih baik untuk kita mengapresiasi karya sastra misalnya dengan cara membaca, mendengarkan atau menonton, karena akan banyak pengetahuan baru yang nantinya bisa kita dapatkan.








Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Cerpen Ngurah Parsua

Hakikat Bahasa